ANALISIS KEUNTUNGAN KAKAO
Penelitian tentang analisa perbandingan tingkat keuntungan petani dengan tingkatkeuntungan pedagang dalam pemasaran kakao di Kecamatan Kubung Kabupaten Solok telah
dilaksanakan di Kecamatan Kubung Kabupaten Solok, mulai Oktober sampai dengan
November 2010. Penelitian ini dilatar belakangi karena tanaman kakao merupakan tanaman
yang berpeluang dan berpotensi untuk dikembangkan di Kabupaten Solok. Selain itu, adanya
rantai tataniaga yang panjang yang harus dilalui mulai dari pedagang pengumpul, pedagang
besar, sampai eksportir, sehingga menyebabkan perbedaan harga yang cukup tinggi di tingkat
petani produsen dengan pedagang perantara yang terlibat dalam pemasaran kakao di
Kecamatan Kubung Kabupaten Solok juga menjadi latar belakang dan perumusan masalah
dalam penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) mengidentifikasi saluran tataniaga kakao yang
terdapat di Kecamatan Kubung Kabupaten Solok dan 2) menganalisa perbandingan tingkat
keuntungan yang diterima petani kakao dan keuntungan yang diterima masing-masing
pedagang yang terlibat untuk masing-masing saluran tataniaga dalam pemasaran kakao di
Kecamatan Kubung Kabupaten Solok. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
survey. Data hasil penelitian ini dianalisa dengan menggunakan analisa kualitatif dan
kuantitatif.
Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa terdapat dua saluran tataniaga kakao
di Kecamatan Kubung, yaitu 1) petani menjual kepada pedagang pengumpul, pedagang
pengumpul menjual kakao kepada pedagang besar, dan terakhir pedagang besar menjual
kakao kepada eksportir, dan 2) petani menjual kakaonya kepada pedagang besar, kemudian
pedagang besar menjual kembali kepada eksportir. Diantara 2 saluran ini saluran II
merupakan saluran tataniaga kakao yang efisien karena saluran yang dilalui lebih pendek
sehingga tingkat keuntungan yang diperoleh oleh petani lebih tinggi dibandingkan dengan
saluran I. Petani memperoleh keuntungan yang paling besar dibandingkan dengan pedagang
perantara baik pada saluran tataniaga kakao I (saluran I) maupun saluran tataniaga kakao II
(saluran II). Pada saluran tataniaga kakao I (saluran I), tingkat keuntungan yang diperoleh
oleh petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, dan eksportir berturut – turut adalah
sebesar 41,10%, 6,36%, 4,48%, dan 6,43% terhadap harga ekspor dengan total keuntungan
yang diperoleh lembaga niaga sebesar Rp. 16.926,66/Kg. Saluran tataniaga kakao II (saluran
II) tingkat keuntungan petani, pedagang besar, dan eksportir berturut – turut sebesar 41,77%,
9,29%, dan 8,15% terhadap harga ekspor dengan total keuntungan yang diperoleh lembaga
niaga sebesar Rp. 17.171,59/Kg.
DONLOT BAB I
DONLOT BAB II
DONLOT BAB III
DONLOT BAB IV
DONLOT BAB V
MAKALAH TERNAK BERMASALAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sektor pertanian
kususnya peternakan yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia harus
dilaksanakan secara terpadu dan terarah dengan sektor-sektor lainnya yang
bertujuan untuk memenangkan persaingan yang semakin tajam di arena perdagangan
Internasional. Dunia
peternakan di Indonesia dihadapkan kepada kendala-kendala yang berat yang
harus segera diatasi dalam menghadapi tantangan era pasar bebas. Pertama, belum
dapat dicapainya standar gizi nasional sebesar 6 gram protein hewani asal
ternak per hari per orang. Kedua, produktivitas ternak masih rendah serta angka
kematian ternak yang relatif masih cukup tinggi. Ketiga, belum dapat
dimanfaatkannya peluang ekspor ternak dan hasil ternak dalam upaya peningkatan penerimaan
devisa dan penciptaan lapangan kerja baru. Keempat, kerugian yang diderita
akibat penurunan mutu dan kerusakan hasil‑hasil peternakan karena penanganan
yang kurang tepat. Kelima. belum dimanfaatkannya sumberdaya alam secara optimal
karena kurangnya minat instansi dan masalah-masalah lainnya yang terkait, di
antaranya kurangnya tenaga teknis terampil. ketersediaan teknologi tepat guna
dan lain-lain. Keenam, lemahnya kelembagaan dan posisi peternak. Ketujuh.
adanya tuntutan agar pengelolaan peternakan dapat memperhatikan masalah lingkungan yang dihasilkannya. Permasalahan‑permasalahan
tersebut harus segera diatasi guna menghadapi era otonomi daerah dan era pasar
bebas.
Peternakan diakui
sebagai salah satu komoditas pangan yang memberikan kontribusi yang cukup besar
bagi devisa negara dan harus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan protein
hewani. Pada kenyataannya, target kebutuhan protein hewani asal ternak sebesar
6 g/kapita/hari masih jauh dari terpenuhi. Ada sedikitnya sepuluh permasalahan
yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam mengembangkan peternakan yaitu
pemerataan dan standar gizi nasional belum tercapai, peluang ekspor yang belum
dimanfaatkan secara maksimal, sumber daya pakan yang minimal, belum adanya
bibit unggul produk nasional, kualitas produk yang belum standar, efisiensi dan
produktivitas yang rendah, sumber daya manusia yang belum dimanfaatkan secara
optimal, belum adanya keterpaduan antara pelaku peternakan, komitmen yang
rendah dan tingginya kontribusi peternakan pada pencemaran lingkungan. Bahkan,
akhir-akhir ini produk ternak dari luar negeri semakin membanjiri pasar
Indonesia dengan harga yang lebih murah dan mutu yang lebih baik. Hal ini
sangat sulit untuk dihindari, karena adanya kecenderungan adanya perdagangan
bebas dan Indonesia mau tidak mau harus menghadapinya. Hal ini tentu saja
mengancam perkembangan peternakan di Indonesia. Untuk mengantisipasi terpaan
dari luar, peternakan di Indonesia harus mengubah strategi agar mampu bertahan
dan bahkan mampu bersaing dengan produk luar baik dalam memperebutkan pasar
nasional maupun pasar internasional.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kondisi peternakan di indonesia?
2.
Apa
saja permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat
dalam bidang peternakan?
1.3
Tujuan
1. Menjelaskan tentang keadaan
peternakan di indonesia
2. Menyebutkan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dalam bidang peternakan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Permasalahan
Peternakan yang Ada di Masyarakat
2.1.1
Peluang
Ekspor
Peluang ekspor ternak dan hasil ternak sebenarnya besar.
Namun untuk mampu menembus pasar
intemasional diperlukan beberapa perubahan. Faktor pertama adalah
mutu dari produk yang dihasilkan. Mutu harus memenuhi syarat yang diajukan oleh
negara pengimpor. Pada saat ini selera antara konsumen dalam negeri dan luar
negeri berbeda, sehingga jika akan diekspor diperlukan adanya beberapa
perubahan dalam manajemen peternakan di Indonesia. MisaInya saja, produk daging
ayam yang bobot hidupnya berkisar antara 1‑2 kg/ekor di dalam negeri, harus
diseragamkan menjadi 2 kg bobot hidup sesuai dengan keinginan Negara pengimpor.
Demikian pula mengenai bentuk harus yang disukai konsumen luar negeri. Misalkan
adalah sulit bila kita mengekspor ayam beku dalam bentuk utuh ke Jepang.
Disamping Indonesia belum mampu bersaing dalam hal harga dengan Amerika, juga
karena Jepang lebih suka mengimpor ayam dalam bentuk potong-potongan atau yang
sudah siap dimasak.
Masalah higienis produk ternak juga sudah saatnya
diperhatikan, jika diinginkan Indonesia memasuki era ekspor. Selama ini hal
tersebut kurang diperhatikan oleh peternak Indonesia. Oleh karena itu, harus
juga dilakukan perubahan besar dalam tatalaksana pemeliharaan ternak agar
memenuhi standar kesehatan yang diinginkari. Dalam kondisi ini, petemalk lebih
baik membentuk suatu asosiasi agar diperoleh tingkat efisiensi yang optimal,
atau dapat pula melakukan kemitraan dengan pengusaha besar. Apabila diperlukan,
kebijakan peternakan di Indonesia perlu ditinjau kembali disesuaikan dengan
perkembangan peternakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Disamping
itu, perlu diperhatikan pula tingkat harga di negara tersebut, dan kemudian
dibandingkan dengan biaya produksi, transportasi, biaya keluar dan masuk
dan lain lain. Demikian pula perlu dilihat tingkat harga negara negara lain
yang mengekspor hasil ternak ke negara tersebut. Dengan demikian bisa
diperhitungkan tingkat harga yang menguntungkan. Jangan sampai mengekspor
ternak malah rugi.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah kesinambungan ekspor dan
konsistensi terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama. Hal ini penting
untuk menjaga tingkat kepercayaan negara tersebut kepada negara pengekspor.
Memang selama ini Indonesia telah membuat gebrakan‑gebrakan untuk mengekspor
ternak dan hasil ternak. Akan tetapi kesinambungannya, belum bisa dibanggakan.
Tampaknya. ekspor tersebut hanya merupakan strategi saja agar harga di dalam
negeri fidak jatuh. Sebagai contoh, bulan Oktober 1987 mengekspor te!ur segar
ke Singapura can Hongkong. Bulan Nopember 1987 mengekspor DOC Parent Stock ke
Malaysia, bulan Desember 1988 telah dilakukan ekspor anak ayam ke Singapura,
d1l. Namun kelanjutannya tersendat. Padahal salah satu cara untuk mengatasi permasaiahan
peternakan di Indonesia adalah mengekspor temalk dan hasil‑hasil ternak. Dalam
jangka pariang ekspor merupakan salah satu altematif untuk menstabilkan harga
produk ternak di Indonesia.
Untuk menghadapi peluang seperti itu, serta untuk
mempercepat perkembangan industri peternakan, diperlukan sekali untuk
memantapkan tahap konsolidasi peternakan agar bisa memasuki tahap ketangguhan
dengan semua aspek peternakan yang lebih mantap. Penataan ke dalam‑dalam arti
aspek teknis, organisasi, peraturan, sistem pengawasan, pembinaan dan
penciptaan kondisi usaha yang merangsang pemindahan modal dari luar ke dalam
lebih lancar ‑ sudah merupakan keharusan agar bisa diraih peluang tersebut.
Apabila kita kurang berhasil dalam penataan ini seperti yang terjadi saat ini,
maka peluang ekspor akan jatuh ke negara lain.
Hal lain yang perlu ditata adalah aspek pemasaran. Baik
pemasaran telur, daging dan susu yang sasarannya bisa dikaitkan dengan upaya
peningkatan gizi masyarakat maupun kegiatan ekspor non migas, sejauh ini belum
ditangani secara optimal. Kondisi pemasaran yang ada sekarang ini masih
diperlukan pendekatan baru yang lebih dinamis, yaitu pendekatan yang arahnya
membina pasar yang sudah terbentuk serta merintis pasar baru yang masih terbuka
peluangnya baik di dalam maupun di luar negeri. Di era otonomi daerah ini, maka
diperlukan pemetaan dan penataan jalur pemasaran.
Sikap konsistensi terhadap kesepakatan yang telah diambil
juga sangat penting. Kita tidak boleh membatalkan kesanggupan mengirim
komoditas yang telah disepakati disebabkan ada negara lain yang memberikan
harga yang lebih tinggi atau karena harga di dalam negeri sedang membaik. Sikap
tak konsisten ini pemah terjadi pada ekspor babi beberapa tahun yang lalu, yang
berakibat terhambatnya kegiatan ekspor komoditas tersebut pada kesempatan lain.
Memanfaatkan peluang ekspor secara berkesinambungan ini tampaknya menjadi
semakin sulit mengingat krisis yang terjadi saat ini justru berakibat secara
langsung dengan gulung tikamya perusahaan peternakan di Indonesia. Hal ini
menyebabkan Indonesia harus menambah impomya dan semakin rumit karena daya beli
masyarakat menurun drastis, sehingga daiam jangka panjang dapat menurunkan mutu
generasi penerus.
2.1.2
Sumberdaya
pakan
Ongkos produksi yang
berasal dari pakan merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 50‑80% dari
total biaya produksi tergantung kepada jenis ternak yang dipeliharanya dan
efisiensi manajemennya. Oleh karena itu
banvak usaha dilakukan untuk mendapatkan pakan yang murah tanpa
mengurangi nilai gizi, tidak bersaing dengan manusia dan cukup tersedia. Sumber
alam berupa bahan baku pakan baik jenis maupun jumlahnya cukup besar, namun
usaha ke arah pemanfaatannya masih mengalami banyak hambatan. Sampai sekarang
ini pabrik pakan memakai bahan baku utama jagung, bungkil kedelai dan tepung
ikan. Sebetulnya sudah ada usaha penggantian bahan pakan utama tersebut oleh
pabrik palkan, namun temyata harga pakan tidak juga turun. Ini berarti ada
faktor dominan lain yang perlu diindentifikasi.
Namun demikian, bukan berarti peningkatan bahan baku utama
atau penggantian bahan baku utama tersebut kemudian ditinggalkan. Peternak
kecil, dapat menyusun pakannya dengan menggunakan bahan pakan yang banyalk
tersedia di daerahnya. Memang saat ini banyalk peternak yang telah
memodifilkasi pakannya dengan mencampur konsentrat pabrik dengan jagung dan
dedak. Sebenamya telah banyak penelitian di bidang nutrisi dan makanan ternak
yang dapat ciaplikasikan bailk pada pabrik pakan ternak maupun di tingkat
masyarakat peternak. Banyak hasil penelitian yang tertumpuk saja di
perpustakaan.
Selain peningkatan efisiensi manajemen, maka perlu dilakukan
upaya penjajagan kemungkinan pengalihan jagung, bungkil kedelai dan tepung
ikan. Bahan‑bahan tersebut dapat berupa limbah industri atau limbah pertanian
atau bahanbahan yang tidak bersaing
dengan manusia. Hal ini memang memerlukan proses yang cukup lama dan
berkaitan erat dengan beberapa pihak yang tidak mau dirugikan. Beberapa
pendekatan perfu dilakukan. Juga dituntut kejujuran pihak pabrik pakan ternak.
Jika mereka telah menggunalkan bahan yang lebih murah, maka diharapkan mereka
mau menurunkan harga pakannya.
Ada dua aspek dalam hal penekanan biaya pakan, yaitu aspek telknologi dan
tataniaga. Dalam aspek teknologi, hasil penelitian menunjukkan bahwa standar
kebutuhan gizi yang sekarang dianut masih dapat diturunkan. Aspek tataniaga
pakan ternak juga memegang peranan penting. Masalah tataniaga bahan baku pakan
ternak misalnya, penyempurnaan akan mempunyai arti yang besar. Usaha ke arah
itu sudah dilakukan oleh pemerintah misainya dengan diserahkannya kembali
pembelian jagung dan tepung ikan oleh BULOG kepada pihak swasta, artinya swasta
bisa membelinya langsung dari pasar luar negeri. Namun sejauh mana hal ini
dapat menekan biaya pakan masih belum diketahui.
2.1.3
Penurunan
mutu produk
Seringnya terjadi permasalahan yang dihadapi oleh peternak,
perusahaan pakan, maupun pembibitan, ditinjau secara global dari aspek
pengembangan industri, maka kemungkinan yang menjadi permasalahannya yaitu
akibat kondisi struktur industri yang belum berkembang secara seimbang. Artinya
yang baru berkembang adalah sektor industri proses produksi dan sarana
produksi, sedangkan sektor industri pasca produksi belum mengalami perkembangan
yang berarti.
Berkembangnya industri pasca produksi merupakan salah satu
pengendali dan stabilitas harga hasil ternak, dan dapat sebagai sektor pengaman
hasil ternak sehubungan bahwa hasil ternak termasuk produk yang mudah dan cepat
rusak. Disamping itu juga diketahui bahwa sektor tersebut dapat sebagai sektor
peringkat nilai tambah produk ternak.
Pengelolaan pasca panen sangat penting untuk menjaga mutu produk ternak. Penanganan
yang kurang tepat akan menghasilkan kerugian besar. Sebagai contoh,
beberapa tahun yang lalu terjadi pembuangan susu karena tidak
diterimanya susu oleh pabrik karena tidak memenuhi syarat. Untuk
menjaga kestabilan harga, maka susu dibuang. Jika industri pengolahan
susu pada tingkat rumah tangga telah berkembang, mungkin hal ini tidak
perlu terjadi. Demikian pula perlu perbaikan penanganan susu di tingkat
peternak dan koperasi untuk mempertahankan mutu sekaligus perbaikan
mutunya. Kerusakan susu pada KPBS Pengalengan pada tahun 1988
sekitar 3% dari jumlah susu yang diterima.
Produk ternak lain yaitu telur, penanganan pasca produksinya
juga masih kurang diperhatikan. Menurunnya mutu telur dipengaruhi oleh waktu
dan kondisi penyimpanan. Manajemen pasca produksi daging juga masih belum
memadai, disamping mutunya belum disesuaikan dengan standar intemasional.
Banyak ternak yang dipotong karena sudah afkir balk sebagai ternak kerja,
ternak perah atau temalk khusus diambil dagingnya. Demikian pula pada ayam
potong belum adanya keseragaman berat ayam yang dipasarkan, disamping belum
ketatnya permintaan mutu karena konsumen pada unnumnya belum memperhatilkan
mutu secara serius melainkan hanya didasarkan harganya yang murah. Kini sudah
saatnya ‑ jilka tidak mau dianggap terlambat ‑ dunia peternakan mengembangkan
industri pasca produksi untuk menstabilkan harga, disamping adanya usaha
peningkatan mutu dan merebut pasar dan efisiensi usaha.
2.1.4
Produktivitas
ternak
Sebagian besar peternakan merupakan peternak kecil.
Petemalkan ralkyat tersebut pada umumnya mempunyai ciri‑ciri berupa rendahnya
tingkat keirampilan, keciInya modal usaha, belum digunakannya bibit unggul ‑
terutama pada peternakan ayam buras, sapi, kambing, domba dan kerbau–, keciinya
ternak Yang produktif, dan belum sempumanya cara penggunaan pakan sehingga
produksinya rendah. Hasil produksi yang berasal dari peternakan masih di bawah
hasil produksi dari perusahaan.
Bagi peternakan rakyat Ada Tiga Masalah Utama, yaitu rendahnya produksi,
produktivitas dan mutu hasil ternak. Dari segi bibit, masih banyak temalk lokal
yang tidak unggul, sering kemajiran, mutu pejantan dan betina yang rendah d1l.
Kemajiran ini disebabkan oleh corpus luteum persisten, hipofungsi ovarium,
endometritis. Ketidaksuburan sapi‑sapi betina di Indonesia belum banyak
diteliti, tetapi kemungkinan besar disebabkan oleh kekurangan pakan yang
menyolok, kelainan fisiologik‑anatomik dan kelainan patologi saluran kelamin
betina dan merajalelanya penyakit kelamin menular khusus.
Untuk meningkatkan mutu genetik ternak, maka pemerintah
melakukan impor ternak dan semen, bahkan embrio transfer, disamping memperbaiki
ternak lokal yang berpoten si seperti sapi Bali. Namun, beberapa kasus impor
ternak, misalnya sapi perah, kita tidak bisa memilih sapi yang benarbenar sapi
terbaik di negara tersebut. Kita hanya bisa mengambil sapi pada suatu ranch
yang telah disediakan tanpa dapat memilih. Ini berarti yang diimpor bukan sapi
unggul di negara tersebut, melainkan campuran dari berbagai kualitas. Ternak
dan semen impor dikawinkan dengan sapi lokal dengan harapan mampu memperbaiki
mutu genetik sapi lokal. Pemerintah melalui program Gerbang Serba Bisa telah
melakukan program pembibitan di tingkat pedesaan. Namun, sejauh ini
keberhasilan tentang proyek tersebut masih dipertanyakan. Hasil pengamatan
pendahuluan di Bengkulu misalnya, proyek tersebut tidak tampak mampu
meningkatkan kualitas dan kuantitas sapi lokal.
Selain perbaikan faktor genetik, maka hal lain yang tidak
kalah pentingnya adalah faktor pakan dan manajemen serta tatalaksana
pemeliharaan. Meskipun secara genetik ternak tersebut mempunyai potensi
produksi yang tinggi, namun jilka faktorfaktor lain yang mempengaruhl
produktivitas kurang diperhatilkan, maka potensi yang tinggi itu tidak akan
tercermin dilapangan.
2.1.5
Kemitraan
vs koperasl mandid
Permasalahan lain yang juga penting
perlu mendapat perhatian adalah lemahnya kelembagaan peternak. Meskipun telah
dibentuk kelompok‑kelompok usaha, koperasi d1l., namun pada kenyataannya fungsi
kelembagaan peternak masih lemah. Salah satu sebabnya adalah rendahnya kualitas
sumberdaya manusia (SDM) yang ada. Koperasi memang merupakan wadah yang tepat
bagi peternak. Tetapi koperasi yang bagaimana yang harus dibentuk ? Pada hemat
penulis, maka koperasi harus mampu menjadi badan usaha yang mandiri secara
nasional. Koperasi mandiri ditandai dengan antara lain kemampuannya
mengelola usaha secara profesional dan mempunyai “bargaining power”.
2.2 Undang-undang
Permasalahan Peternakan
Peternakan adalah suatu
usaha yang dijalankan secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan
dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komersial yang meliputi kegiatan
menghasilkan ternak (ternak bibit/ternak potong), telur, susu serta usaha
penggemukan suatu jenis ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan
memasarkannya yang untuk tiap jenis ternak jumlahnya melebihi jumlah yang
ditetapkan untuk tiap jenis ternak pada peternakan rakyat.
Usaha di bidang
Peternakan adalah suatu usaha yang dijalankan secara teratur dan terus menerus
pada suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komersial yang
meliputi perusahaan pemotongan, pabrik pakan dan perusahaan perdagangan sarana
produksi peternakan. Yang telah di tetapkan dalan rancangan Undang-Undang nomor
1 ayat 15 tahun 2009 “ perusahaan peternakan adalah orang perorangan atau
korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun badan yang bukan badan hukum,
yang di dirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang mengelola usaha peternakan dengan criteria dan skala tertentu”
Sedangkan usaha dalam
bidang peternakan adalah segala sesuatu yang di hasilkan (produk) dan jasa penunjang
usaha budidaya ternak. Yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 1 ayat 16 tahun
2009 “ usaha di bidang peternakan adalah kegiatan yang menghasilkan produk dan
jasa yang menunjang usaha budi daya ternak”
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari uraian di atas, permasalahan peternakan harus segera
mendapat penanganan serius. Pemecahan yang dapat dilakukan antara lain: 1) Dari
segi aspek pengembangan, maka perlu dikembangkan industri pasca produksi,
disamping memperbaiki industri sarana produksi dan industri proses produksi. 2)
Dilakukan efisiensi usaha di semua sektor peternakan, sehingga memberikan
keuntungan yang memadai di pihak proses produksi dengan harga hasil ternak yang
dapat dijangkau oleh sebagian besar konsumen. 3) Dari segi pemasaran, perlu direalisasikan
ekspor ternak dan produk ternak, disamping menggali potensi konsumen dalam
negeri dengan menciptakan produk ternak dengan standar intemasional. 4)
Dilakukannya pembenahan secara total
di seluruh kegiatan peternakan. 5) Adanya kerjasama yang saling menguntungkan
di semua pihak yang bergerak di bidang peternakan. 6) Menciptakan usaha
peternakan terpadu, agar usaha tersebut dapat menimbulkan tingkat polusi yang
minimal. 7) Memperbaiki kelembagaan peternak.
3.1 Saran
Untuk menghadapi
tantangan di masa yang akan datang diperlukan beberapa perubahan pada tatanan
birokrasi. Perubahan tatanan tersebut harus mengacu kepada perubahan-perubahan
paradigma yang terjadi dewasa ini. Untuk mendukung perubahan tersebut, maka
diperlukan SDM yang berkualitas baik. Perguruan tinggi sebagai lembaga utama
mencetak dan menyediakan SDM bertanggungjawab dalam menghasilkan SDM yang bukan
saja mampu memecahkan masalah pembangunan tetapi juga bermoral tinggi. Tangging
jawab peningkatan SDM juga berada pada masyarakat pengguna (industri barang dan
jasa, litbang dll) karena walau bagaimanapun perguruan tinggi berusaha mencetak
SDM (lulusan) yang sesuai dengan kebutuhan pasar namun SDM tersebut belum
memiliki ketrampilan yang memadai bagi masyarakat pengguna.
DAFTAR
PUSTAKA
Fikar,
Samsul dan Ruhyadi Dadi,2010, Berternak
dan Bisnis Sapi Potong, Jakarta: Agromedia Pustaka.
Diwyanto,
K., D . Sitompul, I . Manti, I-W . Mathius dan Soentoro .2004 . Pengkajian pengembangan usaha sistem
integrasi kelapa sawit-sapi . Pros . Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa
Sawit-Sapi . Bengkulu, 9 - 10 September 2003 . Puslitbang Peternakan
bekerjasama dengan PemerintahProvinsi Bengkulu dan PT Agricinal, Bogor . hIm .
11 - 22 .
Gittinger,
J .P . 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian . UI Press-John Hopkins,
Jakarta .
Hartadi,
H ., S . Reksohadiprodjo dan A.D . Tillman . 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia . Gadjah Mada University Press
. Yogyakarta .
MAKALAH MEKANISASI PERTANIAN
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Mekanisasi pertanian
mulai banyak berkembang. Perkembangan ini dilihat dari peningkatan kebutuhan
akan alat-alat mekanik untuk meningkatkan dan mempermudah hasil produksi
pertanian. Pengolahan pertanian yang sebelumnya menggunakan tenaga manusia
beralih memakai mesin-mesin pertanian seperti trkator (untuk membajak sawah)
dan alat pengolahan hasil pertanian lainnya. Peralihan penggunaan tenaga kerja
petani digantikan dengan mesin-mesin pertanian ,tidak memberikan dampak terhadap
pengurangan tenaga kerja petani. Pengurangan tenaga kerja petani umumnya
disebabkan oleh urbanisasi penduduk desa ke kota. Urabanisasi ini disebabkan
oleh peningkatan industri di kota-kota besar sehingga menarik penduduk desa
untuk datang mencari pekerjaan dikota dan tidak adanya lapangan pekerjaan di
desa. Lapangan pekerjaan didesa khususnya dibidang pertanian mengalami
penurunan disebabkan berkurangnya lahan pertanian.
Pembangunan ekonomi
nasional pada industri terasa kurang berhasil karena adanya persepsi bahwa
kemajuan suatu bangsa tak mungkin dicapai melalui pemberdayaan sektor
pertanian. Anggapan ini muncul karena salah penafsiran dari teori tahapan
pembangunan yang menyatakan bahwa tahapan kemajuan ( pembangunan ) berawal dari
sektor primer ( pertambangan, pertanian, dan sumber daya alam lainnya ), sektor
skunder ( manufaktur ), dan sektor tersier ( jasa ). Teori tersebut mengandung
kelemahan dan secara teoritis-kontemporer tidak berlaku, khususnya bila jumlah
penduduk yang memerlukan konsumsi bahan primer ( sandang dan pangan ) sangat
besar.
Mekanisasi pertanianmerupakan introduksi dan penggunaan alat mekanis untuk melaksanakan operasipertanian. Mekanisasi pertanian disebut juga sebagai aplikasi ilmu engeneringuntuk mengembangkan, mengorganisir dan mengatur semua operasi. Mekanisasipertanian sangat diperlukan untuk menghantar pertanian “subsistence” kepertanian “transisi” menuju ke modernisasi dan mempersiapkan para petani untukhidup di masa akan datang. Penerapan mekanisasi sangat berhubungan dengankemajuan – kemajuan bidang lain dari “Agricultural Engenering” dan berbentukdalam satu atau lebih kombinasi dari bidang – bidang tersebut. AgriculturalEngenering meliputi bidang – bidang Teknik Mesin Budidaya Pertanian (Farm Powerand Machinery), Teknik Tanah dan Air (Soil and Water Engenering), TeknikBangunan Pertanian (Farm Structures), Teknik Pengolahan Hasil Pertanian(Agricultural Product Procesing Engenering), Teknik Pelistrikan Pertanian (FarmElectrification), dan Teknik Pengolahan Pangan (Food Engenering).
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah Dampak Mekanisasi Pertanian
Terhadap Pembangunan Pedesaan?
1.3
Tujuan
1. Menjelaskan
dampak Dampak Mekanisasi Pertanian Terhadap Pembangunan Pedesaan
1 Response to "Pertanian"
Saya tidak bisa cukup berterima kasih kepada layanan pendanaan lemeridian dan membuat orang tahu betapa bersyukurnya saya atas semua bantuan yang telah Anda dan staf tim Anda berikan dan saya berharap untuk merekomendasikan teman dan keluarga jika mereka membutuhkan saran atau bantuan keuangan @ 1,9% Tarif untuk Pinjaman Bisnis. Hubungi Via:. lfdsloans@lemeridianfds.com / lfdsloans@outlook.com. WhatsApp ... + 19893943740. Terus bekerja dengan baik.
Terima kasih, Busarakham.
Post a Comment